Sunan Kalijaga

Sebelum Tobat, Sunan Kalijaga Pernah Jadi Begal
Sunan Kalijaga semasa muda jadi begal. Setelah bertobat jadi wali penyebar agama Islam.
Pengusiran itu tidak membuat jera Raden Syahid. “Dia malah melakukan perampokan dan pembegalan terhadap orang-orang kaya di Kadipaten Tuban,” tulis Achmad Chodjim dalam Sunan Kalijaga: Mistik dan Makrifat.
Raden Syahid tertangkap lagi dan diusir keluar dari Kadipaten Tuban. Dia melangkahkan kaki sampai di hutan Jati Wangi. Dia melihat Sunan Bonang, tapi tidak kenal siapa sebenarnya orangtua itu. “Karena itu, wali tua itupun hendak dimangsanya. Pikirnya, ada orang kaya yang bisa dibegal,” tulis Chojim.
Raden Syahid berhasil melumpuhkan Sunan Bonang dan diminta menyerahkan barang bawaannya. Sunan Bonang tidak mau menyerahkannya. Lalu Raden Syahid mengatakan untuk menekan Sunan Bonang bahwa tujuannya membegal untuk menolong orang miskin.
Cerita lain menyebutkan, Sunan Bonang menasihati Raden Syahid bahwa harta hanya titipan Tuhan. Dia memamerkan kesaktiannya menunjuk pohon aren dan tiba-tiba buahnya menjadi emas. Raden Syahid terperangah, meminta maaf dan bertobat.
“Pertemuan dengan Sunan Bonang itulah yang membuat Raden Syahid tercerahkan hidupnya,” tulis Chojim. “Ia akhirnya menyadari bahwa perbuatan yang dilakukannya itu meski tampak mulia, tetapi tetap merupakan jalan yang salah.”
Raden Syahid memohon menjadi murid. Sunan Bonang mengambulkan dengan syarat harus bersemedi di pinggil kali sampai dia kembali. Tiga tahun kemudian, Sunan Bonang mendapatinya masih bersemedi. Badannya dirambati rerumputan. Sunan Bonang takjub akan keteguhan hati Raden Syahid. Sejak itu, dia berguru kepada Sunan Bonang, kemudian kepada Sunan Ampel dan Sunan Giri.
Menurut Umar Hasyim dalam Sunan Kalijaga, Raden Syahid kemudian berganti nama menjadi Kalijaga artinya “penjaga kali”. Ada yang menafsirkan “penjaga kali” sebagai orang yang menjaga semua aliran (kali sebagai air yang mengalir) atau kepercayaan yang hidup di masyarakat. Sebab, dia satu-satunya wali yang paham dan mendalami segala pergerakan dan aliran atau agama yang hidup di masyarakat.
Sunan Kalijaga juga dikenal dengan Syekh Sa’id atau Syekh Malaya karena dia berdakwah ke Semenanjung Malaya. Dia diakui sebagai tabib karena menyembuhkan Raja Patani dari penyakit kulit yang parah.
Pendapat lain dengan segala argumen dan sanggahannya menyebut Kalijaga keturunan Arab dan namanya berasal dari bahasa Arab: Qodli Zaka berarti hakim suci atau penghulu. Ada juga yang menyebut dia keturunan Tionghoa: nama kecilnya Said dari sa-it (sa = 3, dan it = 1; maksudnya 31) sebagai peringatan waktu lahir ayahnya berusia 31 tahun. Ketika sudah menjadi Sunan Kalijaga dia bernama Tionghoa, Gan Si Cang, anak Gan Eng Cu alias Arya Teja, kapiten Tionghoa yang berkedudukan di Tuban. Arya Teja adalah mertua Bong Swi Hoo atau Sunan Ampel.
Namun, menurut Chojim, Tumenggung Wilatikta atau Aria Teja IV merupakan keturunan Aria Teja III, dan berpangkal pada Aria Teja I. Sedangkan Aria Teja I adalah putra dari Aria Adikara atau Ranggalawe, salah seorang pendiri Kerajaan Majapahit. Karena itu, Aria Teja IV menjadi adipati Kadipaten Tuban yang berada di bawah kekuasaan Majapahit.
Menurut Hasyim, Sunan Kalijaga adalah satu dari sembilan wali yang paling tenar di kalangan masyarakat karena dia satu-satunya yang paling berhasil dan sebagai manusia komplet. “Kecuali sebagai mubalig, beliau juga adalah seniman, budayawan, politikus, ahli tasawuf, ahli filsafat, dan cendekiawan,” tulis Hasyim.
Sunan Kalijaga berdakwah ke berbagai pelosok, menyelami kehidupan rakyat biasa, namun dapat tetap bergaul dengan kalangan atas: bangsawan, ningrat, dan cendekia. Sebagai seniman, dia menciptakan seni batik bermotifkan burung dalam beragam bentuk dan menciptakan baju takwa.
“Surjan Jawa yang semula lengan baju pendek, diganti dengan lengan panjang. Dengan kreasi semacam inilah Sunan mengajarkan Islam tanpa menimbulkan konflik di masyarakat,” tulis Achmad Chodjim dalam Sunan Kalijaga: Mistik dan Makrifat.
Sunan Kalijaga juga mengarang tembang Jawa, Ilir-ilir; menciptakan seni ukir berupa dedaunan, bentuk gayor atau alat menggantungkan gamelan, alat-alat rancakan gamelan, peti-peti klasik, bentuk ukiran rumah-rumah adat di Kudus, Demak, dan Gresik. Dia juga menciptakan gamelan yang disebut Gong Sekaten, yang berasal dari kata sahadatain (dua kalimat sahadat).
Yang paling melekat pada Sunan Kalijaga adalah wayang sebagai media dakwah. Dia membuat wayang kulit hasil pengembangan dari wayang beber pada 1437. Dia juga berperan dalam pembangunan masjid Demak, terutama dalam membuat soko tatal (tiang terbuat dari serpihan-serpihan kayu).
Dalam pemerintahan, Sunan Kalijaga pernah menasihati Raden Patah, Raja Demak, agar tidak menyerang Majapahit. Alasannya, menurut Hasyim, Raja Brawijaya V, ayah dari Raden Patah sendiri, tidak mengganggu masyarakat Islam; banyak di antara keluarga dan pejabat kerajaan telah masuk Islam; serta Majapahit sudah lemah dan akan jatuh dengan sendirinya. Kemungkinan besar karena Sunan Kalijaga menyadari leluhurnya berasal dari Majapahit.
Namun, Raden Patah bergeming tetap akan menyerang Majapahit. Setelah serangan pertama (1524-1526) gagal, serangan kedua dipimpin Sunan Kudus pada 1526 dan 1527 baru berhasil menjatuhkan Majapahit.
Sunan Kalijaga menikah dengan Dewi Sarah binti Maulana Ishak dan dikaruniai tiga orang anak: Raden Umar Said (Sunan Muria), Dewi Rukayah, dan Dewi Sofiyah.
Dua Wali dalam Konflik Demak
Bagaimana Sunan Kudus dan Sunan Kalijaga terlibat dalam konflik politik berkepanjangan di Kerajaan Demak.
Diceritakan Serat Kandha, Jaka Tingkir adalah menantu Sultan Tranggana. Secara keturunan jelas ia tidak memiliki hak apapun atas Demak. Tetapi tidak lama setelah pemakaman Sultan Tranggana, Jaka Tingkir mengumumkan kekuasaannya di Demak. Pengangkatan mendadak Jaka Tingkir itu dilakukan berdasarkan pilihan rakyat Demak. Ia lalu memerintahkan agar pemerintahan Demak dipindah ke Pajang. Seluruh benda-benda pusaka di Demak juga tak luput dari perpindahan tersebut.
Sebagai pewaris sah Demak, Sunan Prawata, seharusnya menggantikan kedudukan Sultan Trenggana. Tetapi ia diceritakan tidak ingin naik takhta, dan secara sukarela menjadi Priayi Mukmin atau Susuhunan di wilayah Prawata, sebuah pasanggarahan yang digunakan Raja Demak selama musim hujan. Hal itulah yang kemudian mempermudah Jaka Tingkir untuk mengambil alih kekuasaan.
Dalam Babad Tanah DJawi: Javaanse Rijskroniek, JJ Meinsma mengatakan Pajang lantas segera mengamankan takhtanya. Ia bahkan melakukan berbagai tindakan untuk memastikan kedudukannya tetap aman. Sampai tidak ada wilayah yang berani mengusik Raja Pajang karena takut akan kesaktiannya.
“Semua negara bawahan menyerah. Yang mengadakan perlawanan dikalahkan. Tidak ada seorang pun yang berani melawan, karena takut akan kesaktian adipati dari Pajang. Hanya adipati dari Jipang, Pangeran Aria Panangsang, yang tidak mau menyerah,” tulis Meinsma.
Kemunculan Para Wali
Konflik antara Jipang dan Pajang menimbulkan keresahan di kalangan rakyat. Demi meredam kegaduhan tersebut, Sunan Kudus dipercaya menjadi penengah oleh para raja. Sunan Kudus memiliki wibawa besar karena kedudukannya sebagai salah satu dari Wali Songo, kelompok wali utamapenyebar Islam di tanah Jawa. Di samping perannya sebagai Imam Besar Masjid Agung Demak.
Diceritakan HJ De Graaf dalam Awal Kebangkitan Mataram: Masa Pemerintahan Senapati, Sunan Kudus mengangkat Aria Panangsang, Jaka Tingkir, dan Sunan Prawata menjadi muridnya. Hal itu dilakukan agar perselisihan di antara ketiganya dapat diredam. Mereka menjadi murid Sunan Kudus yang paling setia.
Namun kemudian keadaan kembali memanas ketika dua murid Sunan Kudus, Jaka Tingkir dan Sunan Prawata, memilih untuk berguru juga kepada Sunan Kalijaga, salah satu Wali Songo yang ikut menyebarkan Islam di wilayah Cirebon. Keputusan itu, kata De Graaf, membuat Sunan Kudus merasa wibawanya tercoreng. Baginya belajar pada dua orang guru, terlebih kepada Sunan Kalijaga, adalah tindakan yang salah.
“Jadi di antara murid Sunan Kudus sudah ada dua orang yang telah bergabung dengan Sunan Kalijaga, saingannya. Hanya Pangeran Aria Panangsang yang masih setia. Dan murid inilah yang didorongnya agar bertindak terhadap murid-murid yang tidak setia itu sebagai balas dendam gurunya, terutama yang paling dekat dengannya,” kata De Graaf.
Perbedaan pendapat antara Sunan Kudus dan Sunan Kalijaga sering kali terjadi. Seperti ketika tahun 1543 keduanya memiliki pandangan berlainan tentang penentuan awal bulan Ramadhan. Sultan Trenggana yang dalam hal ini lebih mendengar Sunan Kalijaga membuat kecewa Sunan Kudus. Akibatnya, Sunan Kudus memutuskan mundur dari jabatannya sebagai Imam Masjid Demak. Tidak lama setelahnya, Sunan Kalijaga diangkat sebagai imam. Ia juga diberi tanah untuk berdakwah di Adilangu.
Dalam penelitiannya, De Graaf menyatakan persoalan Jipang dan Pajang yang melibatkan para Wali ini tidak dilihat dari segi spiritualnya. Karena bagaimana pun para Wali, termasuk Sunan Kudus dan Sunan Kalijaga, mengajarkan kepada murid-muridnya: “agama Nabi (Islam) dan kekuatan-kekuatan gaib serta ilmu kesaktian.” Meski begitu para guru yang berwibawa itu tidak membatasi diri pada urusan agama saja, tetapi juga turut campur dalam soal-soal politik.
“Karena itu, Sunan Kudus sama sekali bukan seorang petapa yang telah melepaskan segala keduniawian, dan demikian pula rekannya yang dari Adilangu (Demak) itu. Maka, pembelotan Prawata itu bisa dicap sebagai pengkhianatan spiritual sekaligus juga pengkhianatan politik,” ucapnya.
Nasihat Sunan Kudus
Dalam urusan kenegaraan dan politik di Demak, Sunan Kudus disebut menjadi pendukung utama Aria Panangsang. Menurut Agus Sunyoto dalam Atlas Wali Songo, Sunan Kudus berperan penting dalam mengatur suksesi takhta Demak. Dan pilihannya jatuh pada murid paling setianya, Adipati Jipang Panolan atau Aria Panangsang. Muridnya itupun sangat mempercayai sang guru. Bahkan tindakan-tindakan nekad yang diminta oleh Sunan Kudus dijalankannya.
Dikisahkan Babad Tanah Jawi, Aria Panangsang dinasihati agar ia menghabisi nyawa Sunan Prawata. Pada 1549, ia mengaminkan ucapan Sunan Kudus tersebut. Aria Panangsang memerintahkan salah seorang anak buahnya, Rangkud, untuk pergi ke kediaman Prawata dan menghabisinya. Tidak butuh waktu lama, Prawata beserta permaisurinya tewas di tangan Rangkud.
Beberapa waktu kemudian, Sunan Kudus kembali memberi wejangan kepada Raja Jipang itu. Kali ini ia dinasihati agar membunuh Raja Pajang. Dalam Serat Kandha, pembunuhan kedua ini melibatkan empat orang yang masing-masing membawa keris sakti. Namun usaha menghabisi nyawa raja itu tidak berjalan baik. Sang raja terlalu sakti untuk mereka tangani.
Setelah percobaan pembunuhan yang gagal itu, Sunan Kudus memutuskan mendamaikan Jipang dan Pajang. Ia lalu memanggil kedua muridnya ke Kudus. “Di atas segala-galanya jelas ternyata lagi kedudukan Sunan Kudus yang sangat dominan. Ia memanggil Raja Jipang dan Raja Pajang seorang-olah mereka anak sekolah saja, membiarkan mereka menunggu di depan dalemnya, menasihati, memarahi, dan menyuruh mereka pulang,” kata De Graaf.
Pada perkembangan selanjutnya, setelah melalui persaingan kekuasaan yang cukup panjang, Aria Panangsang berhasil menduduki takhta Demak. Ia memindahkan pusat pemerintahan Demak ke Jipang.
Pahlawan kemerdekaan.
Sumber : Sunan Kalijaga
redaksifajarnews
0 Response to "Sunan Kalijaga"
Posting Komentar